
Ade Prasetia Cahyadi, S.Pd, M.A, Wakil Ketua Bidang Media Pemuda Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kaltara 2025–2030
Politik sering hadir dalam dua wajah. Di satu sisi, ia dianggap sebagai sumber perpecahan dan konflik, sehingga banyak yang memilih menjauh. Namun di sisi lain, politik juga merupakan alat strategis untuk mewujudkan keadilan dan perubahan. Di titik inilah, politik menyimpan harapan.
Dalam konteks Indonesia, sulit membahas politik tanpa menyinggung generasi milenial, mereka yang tumbuh dalam derasnya arus informasi digital. Generasi milenial (kelahiran 1981–1996) akrab dengan teknologi, internet, dan hiburan digital, yang kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Tak heran jika gaya komunikasi politik juga mulai menyesuaikan selera mereka.
Namun, pertanyaannya: sejauh mana milenial benar-benar hadir sebagai subjek politik, atau mereka hadir hanya sebagai objek kepentingan?
Daya Tarik dan Daya Guna Milenial
Pada Pemilu 2024, milenial mencakup sekitar 33,6 persen dari total Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang mencapai 204,8 juta orang atau lebih dari 66 juta pemilih. Angka ini menempatkan milenial sebagai kekuatan penting dalam menentukan arah politik nasional. Potensi besar ini tentu menggoda para politisi untuk meraih simpati mereka.
Tidak heran, banyak politisi tampil "berpenampilan milenial"—dari cara bicara hingga gaya berpakaian. Namun sayangnya, substansi politik yang dibawa tetap usang: minim visi dan solusi konkret atas isu-isu penting seperti lapangan kerja, pendidikan, dan akses teknologi.
Lebih mengkhawatirkan, data Indonesian Millenial Report 2019 dari IDN Research Institute menunjukkan hanya 23,4 persen milenial yang tertarik mengikuti berita politik. Ini menandakan bukan hanya partisipasi yang rendah, tapi juga rendahnya tingkat literasi politik. Banyak milenial menganggap politik sebagai dunia yang membosankan dan milik generasi lama. Akibatnya, mereka mudah dimanfaatkan sebagai "pendulang suara", tanpa benar-benar memahami konteks dan isu yang dihadapi bangsa.
Meskipun ada sosok seperti Dito Ariotedjo yang menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga, mayoritas milenial yang berhasil menembus panggung kekuasaan tetap berasal dari kalangan elit: politisi, pengusaha, atau pejabat. Ini menunjukkan bahwa akses politik belum sepenuhnya terbuka bagi milenial dari kelas menengah ke bawah.
Melek Politik: Dari Penonton Menjadi Pemain
Mengapa milenial harus peduli pada politik? Pertama, karena mereka adalah kekuatan demografis terbesar kedua setelah Gen Z, menurut data BPS 2023. Kedua, karena masa depan politik Indonesia ada di tangan mereka. Namun sikap apatis yang berkembang tak bisa dilepaskan dari berbagai tekanan hidup: tuntutan ekonomi, beban pendidikan, hingga stigma negatif bahwa suara kritis dianggap "mengganggu" ketertiban.
Padahal, melek politik adalah kebutuhan, bukan pilihan. Milenial harus tahu siapa yang mencalonkan diri, apa visi-misinya, bagaimana rekam jejaknya, serta siapa partai pendukungnya. Dengan begitu, mereka tak mudah terbuai janji manis saat kampanye. Melek politik bukan hanya tentang mencoblos, tapi juga tentang mengawal kebijakan, mengkritisi kekuasaan, dan menagih janji-janji yang pernah dilontarkan.
Saatnya Milenial Mengambil Kendali
Milenial tidak bisa terus menjadi penonton. Mereka harus masuk ke dalam arena, menjadi aktor utama dalam menentukan arah bangsa. Bukan sebagai penggembira atau korban kampanye pencitraan, tapi sebagai penentu kebijakan masa depan.
Kini saatnya generasi milenial tampil sebagai subjek yang aktif, kritis, dan sadar peran. Bukan sekadar objek yang disesuaikan dengan selera pasar politik.
Sebab perubahan tidak lahir dari mereka yang diam. Perubahan datang dari generasi yang sadar akan haknya, paham medan perjuangannya, dan berani mengambil kendali.