3 Desember 2025 8:40 pm

Deforestasi atas Nama Investasi: Ironi Hutan Hilang dan Nyawa Melayang

Deforestasi atas Nama Investasi: Ironi Hutan Hilang dan Nyawa Melayang
Ismail Rumadan Peneliti pada Pusat Riset Hukum – BRIN Dosen Fakultas Hukum Universitas Nasional

Di Indonesia, hutan kerap menjadi korban pertama dari proyek investasi. Dengan dalih pembangunan ekonomi, pemerintah membuka pintu lebar-lebar untuk eksploitasi lahan, baik oleh perusahaan tambang, perkebunan, maupun proyek infrastruktur berskala besar. Legalitas diberikan, izin diteken, dan investasi dirayakan. Namun setelah itu, datang realitas pahit: banjir, longsor, kekeringan, dan kematian. Inilah ironi yang terus berulang: deforestasi diberi nama investasi, dan setiap pohon yang tumbang digantikan oleh statistik pertumbuhan ekonomi. Tapi di balik angka-angka itu, ada nyawa yang melayang, rumah yang tenggelam, dan masyarakat yang kehilangan ruang hidupnya.
Dari Hutan Rimba ke Lumpur Bencana Hutan bukan sekadar kumpulan pohon. Ia adalah ekosistem yang menjaga keseimbangan alam: menyerap air hujan, menahan tanah, mengatur iklim mikro, dan menjadi habitat bagi berbagai makhluk hidup. Ketika hutan dibabat habis, kita bukan hanya kehilangan pepohonan—kita kehilangan penyangga kehidupan. Di banyak wilayah seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, pembukaan hutan untuk tambang dan perkebunan menjadi penyebab utama meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir serta longsor. Daerah aliran sungai (DAS) rusak, tanah tererosi, dan limpasan air menjadi tak terkendali. Saat hujan deras turun, air tak lagi masuk ke tanah—melainkan langsung turun ke desa-desa, membawa lumpur dan batu. Itulah yang terjadi di banyak daerah: dari lubang tambang ke pemukiman, dari izin eksploitasi ke bencana ekologis.
Izin Resmi, Kerusakan Nyata Yang lebih menyakitkan, deforestasi ini tidak dilakukan secara diam-diam. Ia dilegalkan oleh pemerintah melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IUPHHK), Izin Usaha Pertambangan (IUP), atau Proyek Strategis Nasional (PSN). Negara hadir—bukan untuk melindungi hutan, tapi untuk memberi restu pada perusakannya. Pemerintah pusat maupun daerah kerap berlomba menarik investasi, tanpa memikirkan daya dukung lingkungan. Kajian dampak lingkungan kerap formalitas belaka. Sementara masyarakat adat dan lokal yang menggantungkan hidup pada hutan justru dianggap penghalang “pembangunan”.
Siapa yang Diuntungkan, Siapa yang Dikubur? Investasi sering dijanjikan membawa lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi. Tapi yang terjadi justru sebaliknya: yang menikmati hasil adalah korporasi besar, sementara masyarakat sekitar dihantui risiko dan kerugian. Ketimpangan ini menunjukkan bentuk paling nyata dari ketidakadilan ekologis: keuntungan diekstraksi dari alam, tapi biaya sosial dan ekologis dibebankan kepada masyarakat yang tak pernah diajak bicara saat izin diterbitkan.
Saatnya Menghentikan Siklus Pembiaran
Pemerintah tidak bisa terus-menerus menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai pembenaran atas kerusakan lingkungan. Dalih pembangunan seringkali dipakai untuk melegitimasi pembukaan hutan, penggusuran lahan, dan perusakan ekosistem yang berdampak langsung pada hilangnya ruang hidup masyarakat lokal. Padahal, pembangunan yang merampas hutan, merusak daerah aliran sungai (DAS), dan mengabaikan keselamatan ekologis bukanlah bentuk kemajuan, melainkan kemunduran yang terstruktur. Karena itu, perlu diambil langkah-langkah konkret untuk menghentikan siklus kerusakan ini. Pertama, pemerintah harus segera menetapkan moratorium deforestasi, khususnya terhadap investasi ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan skala besar. Kedua, dilakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin yang telah diterbitkan, guna memastikan kepatuhannya terhadap prinsip keberlanjutan. Ketiga, pemulihan hutan dan perlindungan DAS harus dijadikan prioritas nasional, karena keduanya adalah penyangga kehidupan yang tak tergantikan. Terakhir, perlu ada penguatan hak-hak masyarakat adat atas wilayah hutan yang telah mereka jaga secara turun-temurun, bukan hanya sebagai bentuk keadilan sosial, tetapi juga sebagai strategi pelestarian yang telah terbukti efektif. Tanpa langkah-langkah ini, kerusakan akan terus terjadi atas nama pembangunan yang sesat arah
Penutup: Hutan Hilang, Masa Depan Ikut Terkubur Kita tidak sedang berhadapan dengan bencana alam, tetapi dengan bencana kebijakan. Selama negara lebih berpihak pada modal dibandingkan pada ekosistem dan manusia, maka nyawa akan terus melayang di bawah reruntuhan pohon yang ditebang. Deforestasi atas nama investasi hanyalah kamuflase dari logika eksploitasi. Sudah waktunya kita membalik narasi ini: bahwa menjaga hutan bukan penghambat pembangunan, tapi satu-satunya jalan untuk mempertahankan kehidupan.
Blog Post Lainnya
Misi Kami
Pemuda ICMI adalah wadah bagi cendekiawan muda Muslim yang didedikasikan untuk memajukan dialog intelektual dan mencari solusi strategis yang berlandaskan nilai-nilai Islam serta kearifan lokal.
Alamat
pemudaicmikaltara@gmail.com
-
@2025 PEMUDA ICMI KALTARA Inc.