
Penulis, Ade Prasetia Cahyadi, S.Pd, M.A, saat menjadi pengajar di Sekolah Tapal Batas Sebatik
Nama Suraidah mungkin terdengar asing bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun di wilayah Sebatik, perbatasan Indonesia-Malaysia, nama itu sangat lekat di hati anak-anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Bagi mereka, Suraidah bukan sekadar guru, ia adalah pahlawan pendidikan, seorang ibu kedua, dan juga cahaya harapan.
Suraidah bukan sosok biasa. Ia memilih jalan sunyi dengan mengundurkan diri dari status Aparatur Sipil Negara dan meninggalkan kenyamanan hidup sebagai dosen Universitas Hasanuddin. Semua itu ia lakukan demi satu hal yakni menyelamatkan anak-anak TKI dari putus sekolah.
Sejak tahun 2014, ia membangun Madrasah Ibtidaiyah Darul Furqon atau yang lebih dikenal sebagai Sekolah Tapal Batas (STB), yang terletak di Kampung Qur’an, Dusun Berjoko, Kecamatan Sebatik Tengah, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara. Di wilayah yang kerap disebut sebagai “halaman belakang” republik ini, Suraidah justru membangun panggung utama perjuangannya.
Ketika Sekolah Jadi Benteng Terakhir
Sekolah Tapal Batas hadir bukan hanya sebagai tempat belajar, tetapi sebagai benteng terakhir bagi anak-anak TKI yang selama ini terpinggirkan oleh sistem. Mereka yang hidup tanpa dokumen kependudukan, jauh dari akses pendidikan, bahkan kurang perhatian dari orang tua, akhirnya menemukan harapan di ruang-ruang kelas sederhana yang dibangun Suraidah. Namun, perjuangannya tidak mudah. Suraidah harus menaklukkan tantangan demi tantangan yang menguji kesabaran dan tekadnya.
Perjuangan Melawan Ketidakpercayaan
Tantangan pertama datang dari para orang tua. Banyak dari mereka enggan mengizinkan anak-anaknya bersekolah karena jarak yang jauh dan waktu tempuh yang melelahkan, bahkan bisa mencapai dua jam berjalan kaki. Belum lagi keraguan terhadap legalitas sekolah membuat banyak orang tua memilih untuk tidak menyekolahkan anaknya. Namun Suraidah tidak menyerah. Ia meyakinkan mereka dengan pendekatan dari hati ke hati, menunjukkan surat resmi dari Kementerian Agama, serta terus membenahi sarana dan prasarana sekolah agar tampak layak dan sah.
Guru, Murid, dan WhatsApp
Pandemi Covid-19 menjadi ujian berikutnya. Sekolah harus beradaptasi dengan pembelajaran daring. Namun, keterbatasan jaringan internet dan minimnya kepemilikan gadget membuat proses belajar mengajar tak semudah membalik telapak tangan.
Dengan segala keterbatasan, pembelajaran daring dilakukan melalui WhatsApp. Materi dikirim dalam bentuk foto, video, hingga pesan suara. Jika diperlukan, sesi video call dilakukan, dengan pemberitahuan sehari sebelumnya agar para murid bisa mencari sinyal di kebun sawit atau di tempat yang lebih tinggi.
Bagi sebagian besar murid yang tidak memiliki gawai, Suraidah membuka asrama kecil di sekolah. Di sana, anak-anak bisa belajar menggunakan ponsel miliknya.
Hanya Dua Guru, Puluhan Murid
Di tengah semua itu, jumlah tenaga pengajar di Sekolah Tapal Batas sangat minim. Hanya dua orang: Suraidah sendiri dan satu guru kontrak bantuan Kemenag. Mereka harus mengajar 43 siswa dari berbagai tingkatan, menyusun materi, menilai tugas, hingga melakukan kunjungan rumah. Untuk mengatasi kekurangan guru, Suraidah membuka peluang bagi para relawan dari universitas-universitas di Kalimantan. Beberapa dari mereka datang dari Universitas Borneo Tarakan, Universitas Kaltara, dan Universitas Mulawarman.
Kartini dari Sebatik
Dedikasi Suraidah mengingatkan kita pada sosok Kartini. Sama-sama perempuan, sama-sama memperjuangkan hak pendidikan di tengah tantangan yang tidak kecil. Tekadnya bulat, hatinya kuat, dan kesederhanaannya menjadikannya sosok yang rendah hati namun berdampak besar. Di saat banyak orang memilih kenyamanan, Suraidah justru memilih berada di garis depan perjuangan. Di tengah kesenjangan dan keterbatasan, ia hadir sebagai pelita bagi anak-anak perbatasan. Ia adalah Kartini yang lahir kembali di tapal batas negeri.
Tulisan ini merupakan hasil observasi penulis selama menjadi guru di Sekolah Tapal Batas. Selain sebagai dokumentasi, tulisan ini juga bertujuan mengajak para pembaca untuk meneladani dedikasi Suraidah. Di usia senjanya, Suraidah membutuhkan sosok penerus yang dapat melanjutkan perjuangannya di bidang pendidikan.